Jakarta (KATAKUNCI) – Pembagian peran dalam rumah secara tradisional mengikuti stereotip akan peran laki-laki dan perempuan bagi pasangan berpendapatan ganda akan menurunkan kepuasan pernikahan kedua pasangan.
Tidak seperti gender, jenis kelamin secara biologis yaitu laki-laki dan perempuan bersifat permanen dan kodrati.
Arti gender dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia nomor enam tahun 2023 adalah nilai, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya masyarakat yang dipelajari, dijadikan tradisi dan dianut secara turun temurun.
Pembagian peran tugas rumah dan pengasuhan anak diajarkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sesuai kebudayaan di sebuah masyarakat.
Ideologi gender dikategorikan menjadi empat kelompok (Helms et al., 2010). Pertama adalah main-secondary, dikenal juga dengan tipe tradisional yaitu laki-laki memiliki tugas utama mencari nafkah dan perempuan memiliki tugas utama mengurus rumah dan anak
Kedua adalah coprovider, suami dan istri sama-sama mengakui kesetaraan peran mereka sebagai pencari nafkah. Ketiga adalah ambivalent dimana istri boleh bekerja apabila kondisi ekonomi mendesak namun tugas rumah dan pengasuhan anak tetap tugas utama istri. Keempat adalah pasangan mismatched yaitu pasangan dengan pandangan yang berbeda satu sama lain.
Dari empat kategori ini, kategori coprovider merupakan kelompok dengan kemitraan gender yang setara atau dikenal juga dengan egalitarian.
Penentu kepuasan pernikahan bukanlah pembagian peran yang sesungguhnya, namun persepsi keadilan dari pembagian tersebut (Perry-Jenkins & Gerstel, 2020). Ideologi gender akan menentukan persepsi keadilan pembagian peran. Pembagian peran mengurus rumah dan mengasuh anak yang lebih besar dilakukan oleh istri akan dianggap adil oleh pasangan main-secondary, tapi tidak adil oleh pasangan coprovider.
Data Indeks Kesetaraan Gender tahun 2023 dari Badan Pusat Statistik menyimpulkan bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi lebih setara dibandingkan sebelumnya (Badan Pusat Statistik, 2023).
Namun ketidaksetaraan gender di dalam tugas rumah tangga dan pengasuhan anak lintas generasi Baby Boomers (1946–1965), Generation X (1966–1980) dan Millennials (1981–2000) masih ditemukan sehingga dapat disimpulkan pergantian generasi dan efek periode jaman tidak cukup untuk menutup kesenjangan tersebut (Churchill et al., 2023).
Hal tersebut menyisakan pertanyaan hal apa yang belum kita ketahui untuk mencapai kesetaraan gender dalam pembagian tugas rumah dan pengasuhan anak dan menjaga kepuasan pernikahan.
Penelitian systematic literature review oleh Sarah Srihartati Sitanala, M.Psi (cand.) dan Dr. Riana Sahrani, Psikolog dari fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta menemukan ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan oleh pasangan dual karir.
Pertama adalah komunikasi kolaboratif, yaitu sebuah cara untuk bekerja sama dengan orang lain melalui berbagi informasi dan mencapai tujuan yang disepakati bersama.
Pasangan dengan pembagian setara pada tugas rumah dan pengasuhan anak yang menggunakan komunikasi kolaboratif kepada istri atau suaminya terindikasi memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi bagi dirinya dan pasangan dibandingkan dengan pasangan yang tidak menggunakan komunikasi kolaboratif (Knutson, 2014).
Suami dan istri yang dapat bekerja bersama-sama dengan pasangannya dalam mengatasi situasi penuh tekanan memiliki kepuasan hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami atau istri yang menggunakan strategi koping negatif dalam mengatasi situasi penuh tekanan dalam perkawinan (Khaerunissa et al., 2023).
Dalam sebuah seminar online yang diselenggarakan oleh fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara dan komunitas PPG PGSD UPI Pasca SM-3T Angkatan IV pada Jumat, 25 Oktober 2024 para peneliti membagikan hasil penelitian secara detail.
Untuk melakukan komunikasi kolaboratif ada beberapa tips yang dapat dicoba, yaitu yang pertama adalah hargai dan dukung pembuatan keputusan masing-masing. Kedua, mendengarkan secara aktif kata-kata yang disampaikan dan juga perhatikan gestur.
Ketiga, bersikap terbuka untuk memfasilitasi mengalirnya ide-ide baru. Keempat, sampaikan perbedaan pendapat dengan tegas dan dengan cara yang tetap menghormati pasangan serta dalam kesadaran bahwa perbedaan ini untuk mencapai tujuan yang sama. Kelima, bertanggung jawab dalam setiap perkataan dan sikap selama diskusi berjalan. Terakhir adalah jangan lelah untuk mengulangi proses ini karena penyelarasan pembagian peran dapat perlu dilakukan secara berkala.
Kedua adalah modal manusia terdiri dari beberapa hal antara lain tinggi pendidikan, jumlah pendapatan, jumlah jam bekerja per minggu dan prestise pekerjaan (Helms et al., 2010). Dalam memahami peran modal manusia juga turut perlu diketahui bahwa modal manusia ini tidak sesederhana memilikinya saja namun juga ada pertanyaan waktu ingin digunakannya.
Daminger (2020) dalam wawancara dengan 32 pasang partisipan penelitiannya mendapatkan pernyataan dari suami bahwa mereka menonaktifkan atau meredupkan aspek relevan dari kepribadian dan juga pengetahuan dan ketrampilan mereka begitu mereka tiba dirumah karena merasa lelah, namun hal serupa tidak nampak sebagai sebuah opsi bagi para istri.
Dalam memfasilitasi perubahan agar dapat terjadi maka penyesuaian di tingkat sosial perlu dimulai agar pasangan dual karir dengan ideologi egalitarian tidak perlu terjepit antara menjaga efisiensi dan memelihara kesetaraan kemitraan gender dalam pembagian tugas rumah dan pengasuhan anak.
Kesenjangan pada pengetahuan dan ketrampilan masing-masing individu dalam pasangan dual karir tidak terjadi secara instan namun akibat investasi usaha dan upaya berpuluh-puluh tahun belajar keahlian dan ketrampilan yang membantu mereka memupuk modal manusia mereka masing-masing (Daminger, 2020). Seiring manusia bertambah usia maka modal manusia seharusnya turut meningkat.
Untuk itu keinginan untuk belajar keterampilan baru dan melakukan tugas yang sebelumnya tidak dapat dilakukan dapat membantu pasangan untuk mengisi kesenjangan modal manusia.
Angka pernikahan di Indonesia tahun 2013 adalah 2,21 juta namun tahun 2023 menunjukkan angka paling rendah dimana hanya terjadi 1,58 juta pernikahan. Turunnya angka ini dipengaruhi oleh berbagai dampak, salah satunya adalah kesiapan menjalankan fungsi keluarga bagi pasangan dan anak nantinya (Arlinta, 2024).
Untuk perubahan lebih luas selain orang tua memberikan teladan dirumah, institusi pendidikan dapat mengambil peran dalam hal ini. Penyusunan program oleh para pendidik mengenai pengenalan dan pelatihan tugas menyelenggarakan rumah tangga bagi anak perempuan dan anak laki-laki melalui kesepakatan dan kesadaran bahu membahu.
Program dapat disesuaikan dengan kelompok usia anak sebagai bekal berdikari dan persiapan berencana keluarga di masa depan demi membangun keluarga dan anak-anak Indonesia dengan kesehatan mental yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Arlinta, D. (2024). Angka Pernikahan Turun, Perspektif Perkawinan Berubah Tak Lagi Sakral – Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/03/07/angka-perkawinan-turun-perspektif-perkawinan-berubah-tak-lagi-sakral
Badan Pusat Statistik. (2023). Indeks Ketimpangan Gender (IKG) 2023. Badan Pusat Statistik, 58, 1. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/05/06/2387/indeks-ketimpangan-gender–ikg–indonesia-mengalami-penurunan-yang-signifikan-menjadi-0-447–menunjukkan-perbaikan-yang-stabil-dalam-kesetaraan-gender.html
Churchill, B., Ruppanner, L., & Kornrich, S. (2023). Children of the revolution? The continued unevenness of the gender revolution in housework, sleep, leisure, childcare and work time across cohorts. Social Science Research, 111(February), 102868. https://doi.org/10.1016/j.ssresearch.2023.102868
Daminger, A. (2020). De-gendered Processes, Gendered Outcomes: How Egalitarian Couples Make Sense of Non-egalitarian Household Practices. American Sociological Review, 85(5), 806–829. https://doi.org/10.1177/0003122420950208
Helms, H. M., Walls, J. K., Crouter, A. C., & McHale, S. M. (2010). Provider role attitudes, marital satisfaction, role overload, and housework: A dyadic approach. Journal of Family Psychology, 24(5), 568–577. https://doi.org/10.1037/a0020637
Khaerunissa, M., Soetikno, N., & Idulfilastri, R. M. (2023). Stronger Together”: How Married Couple Strategy To Work Together Brings Impact To the Satisfaction of Relationship. International Journal of Application on Social Science and Humanities, 1(1), 317–326. https://doi.org/10.24912/ijassh.v1i1.25812
Knutson, K. M. (2014). The effects of collaborative and non-aggressive communication on the relationship between the division of labor(s) and marital quality for dual-earner couples. 53–54.
Perry-Jenkins, M., & Gerstel, N. (2020). Work and Family in the Second Decade of the 21st Century. Journal of Marriage and Family, 82(1), 420–453. https://doi.org/10.1111/jomf.12636